Apa Kabar dengan Mata Sipit?
Apakah mata sipit bisa menjadi gejala penyakit serius pada anak? Pertanyaan ini mungkin muncul di benak kita ketika mendengar kabar bahwa mata sipit dapat menjadi tanda adanya penyakit serius. Namun, apakah benar informasi tersebut atau hanya sebuah hoaks belaka? Sebagai seorang pekerja di media online, saya sering kali mendapat berbagai informasi terkini dan mencari inspirasi dari berbagai situs dan blog luar maupun dalam negeri. Beberapa waktu lalu, saya menemukan artikel mengenai mata sipit pada anak yang diklaim bisa menjadi gejala penyakit serius.
Dalam artikel tersebut, saya menemukan kesimpulan bahwa informasi tersebut adalah hoaks. Namun, sebelum saya menyimpulkan begitu, saya memutuskan untuk mencari penjelasan lebih lanjut dari seorang ahli. Saya memutuskan untuk menghubungi dr. Meta Hanindita, SpA, dari RSUD Dr. Soetomo Surabaya untuk meminta penjelasan lebih lanjut mengenai hal ini.
Dr. Meta langsung menegaskan bahwa pemahaman tersebut adalah keliru. Ia dengan tegas menyatakan bahwa mata sipit bukanlah gejala suatu penyakit. Ia menambahkan, “Pernyataan seperti itu sangat menyesatkan dan tidak berdasar. Jangan percaya begitu saja, Mbak.” Ia kemudian tertawa, mungkin merasa heran dengan banyaknya informasi yang tidak benar yang beredar.
Namun, dr. Meta tidak menampik bahwa ada beberapa penyakit genetik yang dapat mempengaruhi kondisi mata, meskipun tidak semua penyakit genetik memiliki gejala mata sipit. Ia memberikan contoh bahwa anak dengan dahi lebar juga tidak selalu menandakan adanya penyakit kelainan. Misalnya, sindrom Down memiliki ciri-ciri dahi lebar, namun ada pula beberapa penyakit genetik lainnya yang juga memiliki ciri-ciri dahi lebar. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi fisik seperti mata sipit atau dahi lebar bukanlah penanda utama adanya penyakit.
Selanjutnya, dr. Meta menjelaskan bahwa ada beberapa penyakit kelainan genetik yang dapat mempengaruhi kondisi mata, seperti sindrom Crouzon atau sindrom Apert. Pada kondisi-kondisi ini, mata anak justru memiliki bentuk yang “jauh”. Namun, ia menekankan bahwa mata sipit bukanlah gejala dari penyakit-penyakit tersebut. dr. Meta mengatakan, “Memang ada beberapa kelainan genetik dengan kondisi mata yang tidak normal, tetapi tidak spesifik mata yang sipit. Menurut saya, yang lebih penting adalah melihat kondisi bola mata anak, terutama jika terdapat titik putih di dalamnya.”
Leukokoria atau bintik putih di mata merupakan gejala awal dari retinoblastoma, sebuah jenis tumor ganas yang sering menyerang anak-anak. Tumor ini terjadi akibat pertumbuhan sel-sel imatur retina yang tidak normal. Retinoblastoma memiliki angka kejadian yang bervariasi antara satu banding 14 ribu sampai satu banding 20 ribu kelahiran.
Karena pentingnya mendeteksi retinoblastoma sejak dini, dr. Meta menyarankan agar mata anak diperiksa secara rutin oleh dokter mata. Pemeriksaan ini sebaiknya dilakukan saat bayi baru lahir, pada usia 6 bulan hingga 1 tahun, pada usia 3-3,5 tahun, dan saat anak bersekolah. Hal ini sesuai dengan rekomendasi dari American Academy of Ophthalmology.
Dari penjelasan dr. Meta, dapat disimpulkan bahwa mata sipit bukanlah gejala suatu penyakit. Hal ini sejalan dengan pengalaman saya sendiri, karena saya sendiri memiliki mata sipit dan tidak pernah mengalami masalah kesehatan yang berhubungan dengannya. Oleh karena itu, kita tidak perlu khawatir jika anak kita memiliki mata sipit, karena kondisi ini umum terjadi pada beberapa etnis, seperti orang-orang keturunan China.
Namun, kita tetap harus memperhatikan kesehatan mata anak kita. Jika terdapat gejala seperti titik putih di mata, segera konsultasikan dengan dokter mata untuk mendapatkan diagnosis yang akurat. Lebih baik mencegah daripada mengobati, bukan?
Selain itu, artikel ini juga mengingatkan kita bahwa tidak semua informasi yang beredar di media adalah benar. Sebagai konsumen informasi, kita harus lebih pintar dalam memilih dan memilih sumber yang terpercaya sebelum membagikan informasi kepada orang lain. Jangan sampai kita menjadi korban dari berita hoaks yang dapat menyesatkan dan merugikan orang lain.
Dalam dunia yang semakin terhubung secara digital, kita harus lebih kritis dalam menyikapi informasi yang kita dapatkan. Jangan mudah terpancing emosi atau terbawa arus informasi yang belum terverifikasi kebenarannya. Banyakkanlah membaca dan mencari informasi dari berbagai sumber yang terpercaya sebelum mempercayai dan membagikan informasi tersebut.
Dalam hal kesehatan, kita harus selalu mengutamakan kebenaran dan keamanan. Jangan sampai kita terjebak dalam kebohongan yang dapat membahayakan diri sendiri dan orang lain. Oleh karena itu, mari bersama-sama menjadi konsumen informasi yang cerdas dan bertanggung jawab.
Subscribe, follow lembarkerjauntukanak.com