Ketika saya menemukan secarik kertas berwarna kuning bergambar Mickey Mouse di depan pintu kamar, saya merasa kaget dan cemas. Isi surat yang ditulis dengan tangan kecil itu membuat saya merasa khawatir. Surat itu ditulis oleh putri semata wayang saya, Janet yang masih berusia 8 tahun. Isinya singkat namun sangat menggugah perasaan, “Kalau aku lari dari rumah boleh? Kalau masih marah aku pergi! Dah.”
Sebagai seorang ibu, saya merasa perlu untuk menahan emosi dan membaca surat tersebut dengan tenang. Saya mencoba menarik napas panjang dan membaca isinya berkali-kali. Sambil itu, saya juga mendengarkan apakah ada bunyi pagar yang terbuka atau melihat dari jendela kamar apakah Janet masih berada di rumah. Setelah merasa tenang, saya melipat surat tersebut dan keluar dari kamar.
Saat itu, saya sedang berada di kamar karena sedang menahan emosi dan amarah karena perilaku yang kurang baik dan tidak sopan yang dilakukan oleh Janet. Bagi saya, masuk ke dalam kamar dan berdiam diri membantu mengurangi ocehan penuh emosi yang nantinya bisa berujung tidak baik. Saya ingat apa yang pernah dikatakan oleh Bu Elly Risman, seorang psikolog dari Yayasan Kita dan Buah Hati, bahwa kita harus menarik napas panjang sebanyak tiga kali ketika amarah mulai muncul. Selanjutnya, kita juga harus menjaga lisan saat berbicara kepada anak. Kita harus bisa menahan diri untuk tidak marah, membentak, atau menyakiti secara fisik ketika anak melakukan kesalahan. Karena jika orangtua marah-marah, anak akan tumbuh menjadi anak yang “ganas” dan ada kemungkinan anak tersebut akan membenci orangtuanya hingga tidak tahan hidup bersama. Oleh karena itu, saya memilih untuk berdiam diri di dalam kamar.
Ketika saya keluar dari kamar, saya sama sekali tidak membahas tentang surat tersebut. Saya bingung tentang bagaimana cara menyikapi perilaku Janet. Untuk itu, saya memutuskan untuk membahas masalah ini kepada salah satu teman saya yang juga merupakan seorang pemerhati anak dan psikolog, Wisesty Marrysa. Menurutnya, anak yang berani menulis surat seperti itu menggambarkan karakter anak yang memiliki kepercayaan diri yang kuat, mandiri, dan memiliki daya juang tinggi. Ini adalah sisi positif dari karakter Janet. Namun, sifat keras kepala juga mendominasi karakternya. Oleh karena itu, tidak bisa disikapi dengan mengomel atau marah. Tetapi melalui diskusi panjang. Anak seperti Janet tidak bisa memakai cara berkomunikasi satu arah, apalagi dengan bentakan dan hardikan ketika mereka melakukan kesalahan.
Wisesty Marrysa juga menambahkan bahwa anak dengan kepercayaan diri dan keberanian tinggi membutuhkan ruang untuk dirinya sendiri. Orangtua harus membatasi dengan bijak dan memberikan pengertian melalui diskusi jika anak dianggap keluar jalur. Jadi, orangtua harus menetapkan aturan yang jelas, bukan hanya memberikan pagar sebagai batasan.
Setelah berdiskusi dengan sesama ibu dan bertukar pengalaman tentang pola asuh anak, saya mendapati bahwa keinginan untuk kabur juga pernah dirasakan oleh para orangtua ketika mereka masih kecil. Teman saya, Widya, pernah kabur karena kesal dengan ibunya. Dia pergi ke musala pada malam hari dan sempat menggegerkan warga karena dicari-cari.
Dengan referensi yang saya dapatkan, saya merasa memiliki modal untuk membahas surat ancaman kabur yang ditulis oleh Janet. Dua hari setelah surat tersebut saya terima, saya memutuskan untuk mengajaknya berbicara. Saat kami sedang makan bersama setelah pulang sekolah, saya memulai obrolan dengan percakapan ringan seputar aktivitas di sekolah. Kemudian, saya mulai membahas surat tersebut dengan pertanyaan, “Memang kalau kamu kabur mau ke mana?”
Janet menjawab, “Mau ke rumah Opung.” Opung adalah sebutan untuk nenek dalam bahasa Batak.
Saya tersenyum dan menjawab, “Hahaha, kabur kok dekat banget. Ibu gampang cari kamu kalau kamu kabur ke sana. Tapi tahu nggak, kabur itu nggak enak. Kamu akan jauh dari rumah dan belum tentu bisa balik lagi. Kamu akan susah mencari makan, tidak bisa tidur di kamar yang enak, dan tidak bisa bertemu dengan ibu setiap hari. Ibu akan sedih.”
Mendengar itu, Janet langsung memeluk saya dan bilang, “Aku sayang Ibu.”
Saya memeluknya balik dan bilang, “Ibu juga sayang kamu. Sayang sekali. Jangan pernah bilang mau kabur lagi ya.”
Akhirnya, kami berdamai tanpa perlu berdebat panjang. Saya menyadari bahwa sebagai orangtua, saya perlu memberikan pengertian kepada anak dalam menghadapi masalah dan konflik. Melalui diskusi yang panjang, kami bisa saling memahami dan mencari solusi bersama. Saya berharap bahwa Janet bisa belajar dari pengalaman ini dan tumbuh menjadi anak yang bertanggung jawab dan memiliki sikap yang baik.
Subscribe, follow lembarkerjauntukanak.com