Ditulis oleh: Ficky Yusrini
Nilai ulangan anak tak terlalu bagus? Jangan pesimis dulu. Belum tentu dia bukan anak pintar.
Musim tes alias ujian di depan mata. Biasanya masa-masa menjelang tes, bukan anaknya yang pusing, tetapi kita yang mulas. “Anakku cuek banget, boro-boro mau ngerjain latihan soal, keinginan untuk buka buku saja enggak ada,” cerita Mala, teman saya.
Walaupun yang sekolah anak, aroma kompetisi juga tercium di kalangan para Mama. Masing-masing punya cara untuk menggenjot anaknya agar bisa meraih nilai bagus saat UAS nanti. Ada yang mengirim anaknya ke bimbel, kumon, les privat, ataupun diajar sendiri mati-matian.
Dalam soal akademik, anak saya Pi (11) memang tak terlalu menonjol, tapi juga tidak rendah. Kadang-kadang, muncul rasa iri melihat anak lain, “Duh, enak ya, si A, nggak usah repot-repot ngajarin, anaknya memang udah encer otaknya.” Sementara, saya harus struggling ngajarin anak, yang butuh diterangin beribu kali sampai dia bisa paham materi yang saya ajarkan.
Siapa sih, yang tidak ingin punya anak pintar, cerdas, jenius? Tapi, benarkah pintar itu berarti nilai akademis yang bagus? Sebuah artikel dari Scientific American tentang Rahasia Membesarkan Anak Cerdas, (terus terang) membuat saya lega. Menurut psikolog dari Universitas Stanford, Carol Dweck, penulis artikel tersebut, riset selama lebih dari 30 tahun membuktikan bahwa kepintaran intelektual atau kecakapan superior bukanlah kunci utama kesuksesan di sekolah maupun dalam kehidupan. Riset tersebut menunjukkan bahwa proseslah yang lebih berperan menentukan kesuksesan.
Justru, mereka yang mempercayai bahwa kepintaran itu adalah bawaan dan sifatnya tetap, cenderung rentan terhadap kegagalan, takut akan tantangan, dan tidak termotivasi untuk belajar.
Di mata para Mama, bentuk kepintaran yang mereka harapkan dari anak dan standar kepuasan terhadap prestasi anak juga berbeda-beda. Ada yang “Asal anakku happy di sekolah dan rapornya tidak merah.”,”Kalaupun akademik nggak menonjol, minimal punya prestasi di bidang lain, seperti olahraga.”,”Walaupun di sekolah nilai rapornya tinggi, tapi kalau tes di bimbel nomornya rendah. Duh, anakku ketinggalan banget.” Kalau saya sendiri, selama ini lebih fokus untuk mengembangkan minat baca anak dengan mendisiplinkannya membaca buku setiap hari. Tak ada target khusus untuk nilai rapor. Toh, selama ini nilai ulangan tak pernah mengecewakan.
Kaitannya kepintaran dengan kesuksesan anak, secara umum, ada empat temuan Carol yang menarik untuk disimak:
1. Tanamkan pada anak untuk memiliki mindset proses dan kemampuan yang bertumbuh. Bukan sekadar membanggakan kecerdasan atau bakat.
Anak-anak seringkali merasa terbebani dengan ekspektasi yang tinggi dari orang tua atau lingkungan sekitar. Mereka merasa harus selalu pintar, cerdas, dan berhasil dalam segala hal. Namun, Carol Dweck menekankan pentingnya mengajarkan anak untuk memiliki mindset proses dan kemampuan yang bertumbuh. Ini berarti bahwa anak-anak perlu memahami bahwa kecerdasan dan kemampuan mereka bukanlah sesuatu yang tetap dan bawaan, tetapi dapat berkembang melalui upaya dan kerja keras.
Dengan memiliki mindset ini, anak-anak akan lebih terbuka terhadap belajar dan tantangan baru. Mereka tidak akan takut untuk mencoba hal-hal baru dan tidak akan terlalu terpengaruh oleh kegagalan atau kesalahan. Mereka akan melihat kegagalan sebagai bagian dari proses belajar dan kesempatan untuk tumbuh dan berkembang.
2. Beri mereka apresiasi atau pujian karena ketekunan atau strategi mereka (bukan karena kecerdasan semata). Pujian tersebut dapat membuat mereka menjadi berprestasi di sekolah dan menjadi bekal dalam kehidupan mereka nantinya.
Seringkali, kita cenderung memuji anak-anak karena kecerdasan atau bakat mereka. Misalnya, “Kamu pintar sekali!” atau “Kamu benar-benar berbakat dalam seni!”. Namun, Carol Dweck menyarankan untuk lebih memuji anak-anak karena ketekunan dan strategi mereka dalam belajar.
Dengan memuji anak-anak karena ketekunan dan strategi mereka, kita memberikan pengakuan atas usaha dan kerja keras yang mereka lakukan. Ini akan membuat mereka merasa dihargai dan termotivasi untuk terus belajar dan mengembangkan kemampuan mereka. Mereka tidak akan terlalu terobsesi dengan kecerdasan semata, tetapi lebih fokus pada proses belajar dan bagaimana mereka dapat terus meningkatkan diri.
3. Biarkan mereka belajar dari kegagalan. “Perilaku tak berdaya dan gampang menyerah di sekolah lebih sering disebabkan karena kurangnya usaha (bukan kurangnya kemampuan),” tulis Carol.
Kegagalan adalah bagian dari proses belajar dan tumbuh kembang. Namun, banyak anak yang takut untuk gagal atau tidak mampu menerima kegagalan dengan baik. Mereka cenderung merasa minder atau tidak berdaya ketika menghadapi kesulitan.
Carol Dweck menekankan pentingnya mengajarkan anak-anak untuk belajar dari kegagalan. Mereka perlu menyadari bahwa kegagalan bukanlah akhir dari segalanya, tetapi merupakan kesempatan untuk belajar dan mencoba strategi yang berbeda. Dengan belajar dari kegagalan, anak-anak akan menjadi lebih kuat dan tangguh dalam menghadapi tantangan di sekolah maupun dalam kehidupan sehari-hari.
4. Siswa dengan mindset bertumbuh menganggap bahwa belajar adalah tujuan yang lebih penting di sekolah daripada mendapatkan nilai bagus. Selain itu, mereka sangat menghargai kerja keras.
Banyak anak yang terlalu fokus pada mendapatkan nilai yang tinggi di sekolah. Mereka merasa bahwa nilai yang baik adalah segalanya dan menjadi tujuan utama mereka. Namun, Carol Dweck menekankan pentingnya mengajarkan anak-anak untuk menghargai proses belajar dan kerja keras.
Dalam pandangan Carol, anak-anak dengan mindset bertumbuh menganggap bahwa belajar adalah tujuan yang lebih penting daripada nilai bagus. Mereka menghargai proses belajar dan menyadari bahwa nilai yang baik adalah hasil dari usaha dan kerja keras yang dilakukan. Mereka tidak terlalu fokus pada hasil akhir, tetapi lebih fokus pada proses belajar itu sendiri.
Jadi, bagaimana dengan target Anda, mommies? Apakah Anda lebih fokus pada nilai akademis yang tinggi atau pada proses belajar dan perkembangan anak secara keseluruhan? Apakah Anda memuji anak-anak karena kecerdasan semata atau karena ketekunan dan strategi mereka dalam belajar? Apakah Anda memberikan ruang bagi anak-anak untuk belajar dari kegagalan dan menjadi lebih kuat dalam menghadapi tantangan?
Sebagai orang tua, kita memiliki peran yang penting dalam membentuk mindset dan pola pikir anak-anak. Mari kita dorong anak-anak kita untuk memiliki mindset proses dan kemampuan yang bertumbuh, menghargai kerja keras, dan belajar dari kegagalan. Dengan cara ini, kita dapat membantu mereka meraih kesuksesan sejati dalam kehidupan, bukan hanya dalam hal nilai akademis yang tinggi.
Subscribe, follow lembarkerjauntukanak.com