Sedihnya Melihat Penilaian Berdasarkan Penampilan
Perkenalan dengan Keponakan
Semua berawal dari pertanyaan keponakan perempuan saya yang berusia 7 tahun. Suatu hari, ketika kami sedang duduk bersama di ruang tamu, dia tiba-tiba melontarkan pertanyaan yang cukup mengejutkan. “Tante, tante A itu agamanya apa sih? Islam bukan?” tanyanya dengan rasa ingin tahu yang tinggi. Saya yang sedang asyik dengan kegiatan lain pun menjawab dengan enteng, “Iya, Islam. Kenapa emang?” Penasaran dengan pertanyaannya, saya menunggu apa yang akan dia katakan selanjutnya.
“Begitu tante, kalau Islam, kenapa si tante A nggak pakai jilbab atau kerudung?” ujar keponakan saya dengan wajah polosnya. Saya terdiam sejenak, tidak menyangka bahwa seorang anak berusia 7 tahun sudah memiliki pertanyaan semacam itu. Namun, sebagai seorang yang dewasa, saya mencoba untuk memberikan penjelasan yang bisa dimengerti olehnya.
“Kamu tahu, nggak semua orang Islam itu menggunakan jilbab atau kerudung. Ada yang memakainya dan ada juga yang tidak. Tapi bukan berarti mereka yang tidak memakainya bukan Islam,” jawab saya dengan lembut. Namun, keponakan saya tetap tidak terima dengan jawaban saya. “Kalau begitu, tante A bukan Islam dong, tante. Karena Islam yang baik itu harus pakai kerudung. Kalau nggak pakai, berarti Islam-nya tidak baik,” tegasnya dengan pandangan yang serius.
Saya terkejut mendengar ucapan tersebut. Tidak pernah terpikirkan oleh saya sebelumnya bahwa ada orang yang berpikiran seperti itu, apalagi anak usia 7 tahun. Tentu saja, saya tidak bisa menyalahkan keponakan saya. Dia tumbuh di lingkungan yang mayoritas perempuan di sekitarnya menggunakan jilbab, sehingga dia menganggap bahwa semua perempuan yang berjilbab adalah orang yang baik dan beragama Islam dengan benar.
Pemahaman yang Terbatas
Namun, saya merasa sedih. Saya merasa sedih bahwa dari mulut seorang anak kecil bisa keluar kalimat yang cukup menghakimi. Saya merasa sedih bahwa dia menilai baik atau tidaknya seseorang hanya berdasarkan penampilan luarnya saja. Namun, saya juga menyadari bahwa pemahamannya terhadap agama dan nilai-nilai Islam masih sangat terbatas. Dia belum memahami bahwa agama adalah tentang keimanan dan amal perbuatan, bukan hanya tentang penampilan luar saja.
Setidaknya, obrolan saya dengan keponakan ini membuat saya memiliki topik yang menarik untuk dibahas bersama kedua anak saya. Malam harinya, saya mengajak mereka berdua untuk duduk bersama dan membicarakan tentang pentingnya tidak menilai seseorang hanya berdasarkan penampilan luarnya saja. Saya ingin mengajarkan kepada mereka bahwa kebaikan dan keburukan seseorang tidak dapat ditentukan hanya dari apa yang terlihat oleh mata kita.
Mengajarkan Nilai Toleransi
Pada kesempatan itu, saya menceritakan kembali percakapan saya dengan keponakan saya kepada anak-anak saya. Saya bertanya kepada mereka, “Menurut kakak adik, benar nggak sih apa yang dibilang sama T? Bahwa Islam yang baik itu harus berhijab? Kalau nggak berhijab sudah pasti nggak baik?”
Pertanyaan tersebut membuat kedua anak saya berpikir dan memberikan pendapat mereka masing-masing. Anak pertama saya, si kakak, berpendapat bahwa agama tidak hanya dilihat dari penampilan luar saja, tetapi juga dari perbuatan dan akhlak seseorang. Sedangkan anak kedua saya, si adik, mengatakan bahwa setiap orang memiliki kebebasan untuk memilih cara beribadahnya dan tidak ada yang dapat menghakimi orang lain karena perbedaan tersebut.
Saya sangat senang mendengar pendapat kedua anak saya yang cerdas dan bijaksana. Ini menunjukkan bahwa mereka telah menerima nilai-nilai yang saya ajarkan kepada mereka tentang pentingnya menghormati perbedaan dan tidak menghakimi orang lain berdasarkan penampilan luar.
Tidak hanya itu, saya juga berusaha untuk membayangkan diri saya dan anak-anak saya berada di posisi orang yang dinilai tidak baik hanya karena penampilan. Bagaimana perasaan kita? Apakah kita merasa sedih, marah, atau kesal? Jika kita merasa marah, apa alasannya? Jika kita merasa sedih, mengapa kita harus merasa sedih?
Saya ingin anak-anak saya memahami bahwa kita tidak bisa memaksakan orang lain untuk memiliki standar yang sama dengan kita. Misalnya, saya selalu mewajibkan anak-anak saya untuk mengenakan sepatu ketika pergi ke mal, agar mereka terlihat rapi dan bersih. Namun, bukan berarti mereka yang suka mengenakan sandal tidak rapi dan bersih.
Tidak Menghakimi Orang Lain
Selain itu, saya juga selalu menekankan kepada mereka bahwa kita tidak boleh mengidentifikasi sesuatu yang tidak kita sukai dengan kondisi tertentu pada orang lain. Saya memberikan contoh-contoh seperti “Kalau makan jangan berisik, seperti tukang becak.” atau “Jangan teriak-teriak begitu ketika berbicara, seperti anak kampung.” atau “Jangan menggunakan baju tanpa lengan, seperti perempuan yang tidak sopan.”
Kita tidak pernah tahu apa yang ada di dalam kepala dan hati orang lain hanya dengan melihat penampilan luarnya saja. Setiap orang memiliki latar belakang, pengalaman, dan pemikiran yang berbeda-beda. Kita harus belajar untuk tidak menghakimi orang lain berdasarkan penampilan luar atau asumsi yang kita buat sendiri.
Sebagai manusia, kita memiliki akal dan hati yang mampu untuk memahami dan menerima perbedaan. Kita harus belajar untuk saling menghormati dan menghargai satu sama lain. Kita tidak boleh memaksakan pandangan dan nilai-nilai kita kepada orang lain.
Menanamkan Nilai Toleransi
Sebagai seorang ibu, saya berusaha untuk terus menanamkan nilai-nilai toleransi kepada anak-anak saya. Saya ingin mereka tumbuh menjadi manusia yang mampu memahami dan menerima perbedaan, serta tidak menghakimi orang lain berdasarkan penampilan luar.
Di dalam keluarga kami, kami selalu mengajarkan untuk saling menghormati dan menghargai satu sama lain. Kami juga selalu membuka ruang diskusi bagi anak-anak kami untuk mengemukakan pendapat mereka, sehingga mereka dapat berpikir secara kritis dan tidak mudah terpengaruh oleh pandangan orang lain.
Kami juga senantiasa memberikan contoh nyata tentang pentingnya menghormati perbedaan. Misalnya, ketika ada tetangga kami yang beragama lain sedang merayakan hari raya, kami selalu memberikan ucapan selamat dan menghormati perayaan mereka.
Kami juga mengajak anak-anak kami untuk berinteraksi dengan orang-orang berbeda agama, budaya, dan latar belakang. Kami percaya bahwa dengan berinteraksi dengan orang-orang yang berbeda, anak-anak kami akan lebih terbuka pikirannya dan mampu memahami bahwa tidak ada satu agama atau budaya yang lebih baik dari yang lain.
Melawan Diskriminasi
Melalui pendidikan dan pengajaran, kita dapat melawan diskriminasi dan prasangka. Kita dapat mengajarkan anak-anak kita untuk melihat nilai-nilai yang sebenarnya, bukan hanya penampilan luar saja.
Saya berharap bahwa keponakan saya dan anak-anak saya dapat tumbuh menjadi generasi yang mampu melihat dan menerima perbedaan dengan lapang dada. Generasi yang tidak menghakimi orang lain berdasarkan penampilan luar, tetapi melihat nilai-nilai yang sebenarnya.
Mari kita mulai mengajarkan nilai-nilai toleransi kepada anak-anak kita sejak dini. Mari kita berusaha untuk melawan diskriminasi dan prasangka. Mari kita jadikan dunia ini tempat yang lebih baik, di mana setiap individu dihormati dan diterima apa adanya.
Subscribe, follow lembarkerjauntukanak.com