Peranan Film Fifty Shades of Grey dalam Meningkatkan Minat Terhadap Seks Bondage
Film Fifty Shades of Grey yang dirilis pada tahun 2015 telah menciptakan fenomena yang cukup besar di Barat. Tidak hanya filmnya yang sukses di pasaran, tetapi juga mempengaruhi peningkatan minat terhadap BDSM (Bondage, Discipline, Dominance, Submission, Sadism, Masochism) atau dalam kasus ini, seks bondage. BDSM adalah praktik seksual yang melibatkan penggunaan kekerasan, rasa sakit, atau unsur-unsur kekerasan lainnya untuk meningkatkan kenikmatan seksual.
Setelah film Fifty Shades of Grey di-release, penjualan ‘BDSM tools’ meningkat pesat di Barat. Banyak orang yang penasaran dengan penggabungan unsur kekerasan dalam hubungan seksual. Namun, jika dipikir-pikir, apa yang membuat seks dengan unsur kekerasan menjadi menarik? Mengapa rasanya sulit bagi saya untuk menerima konsep ini? Menurut saya, suasana romantis justru dapat mendorong hubungan suami istri menjadi lebih baik. Wanita membutuhkan suasana yang baik untuk bisa menikmati hubungan seksual. Jika variasi diperlukan, apakah harus melalui kekerasan seperti seks bondage?
Saya merasa penasaran. Apakah benar ada orang yang menikmati bentuk kekerasan seksual seperti ini?
Untuk memenuhi rasa ingin tahu saya tentang seks bondage, saya memutuskan untuk bertanya pada dr. Oka Negara, seorang Staf Pengajar bagian Andrologi dan Seksologi di FK Universitas Udayana. Menurutnya, seks bondage bukan hanya terjadi dalam film-film erotis, tetapi juga di dunia nyata. Banyak orang yang menikmatinya dan menganggapnya sebagai variasi seksual. Hal ini tidak terlepas dari peran media yang menjualnya sebagai sesuatu yang bernilai komersial, baik untuk kepentingan bisnis pornografi maupun seni semata. Salah satu contohnya adalah novel erotis karangan penulis Inggris E. L. James yang menjadi sangat populer pada tahun 2011.
“Seks bondage adalah aktivitas seksual yang melibatkan penggunaan tali atau alat pengikat lainnya. Ini bukanlah sesuatu yang baru. Sejak lama, manusia telah menggabungkan pengalaman seksual dengan rasa sakit sebagai cara untuk mencapai kepuasan seksual. Rasa sakit dan kesenangan seksual telah sering dibahas, baik secara terbuka maupun diam-diam. Tulisan-tulisan kuno dari penyair Romawi, gambar-gambar suku kuno, dan bahkan kitab Kamasutra sudah membahasnya. Banyak ritual seksual kuno juga melibatkan penyerahan diri dan penggunaan tali untuk mencapai kenikmatan seksual yang maksimal,” jelas dr. Oka.
Lebih lanjut, dr. Oka menjelaskan bahwa manusia sebagai makhluk seksual selalu berusaha mencari kenikmatan seksual yang lebih baik setiap kali melakukan hubungan seksual. Mereka ingin terus mengeksplorasi diri dan mencari cara baru untuk menikmati hubungan seksual. Rasa deg-degan, takut, dan nyeri yang muncul saat melakukan seks bondage dapat meningkatkan adrenalin, yang pada akhirnya akan membawa kepada kenikmatan seksual yang lebih kuat jika semuanya dilakukan dengan baik dan tanpa efek negatif. Pelaku seks bondage menikmati sensasi luar biasa yang muncul ketika rasa nyeri dilepaskan dan merasa lega.
Lalu, apa penyebab terjadinya seks bondage?
Menurut dr. Oka Negara, cinta, seks, dan aktivitas kekerasan fisik atau psikis dapat merangsang pelepasan bahan kimia dan hormon yang sama dalam otak dan tubuh manusia. Endorfin, hormon yang memberikan rasa senang dan nikmat, dapat dilepaskan dalam pengalaman yang menyakitkan seperti jeratan tali. Rasa nyeri juga dapat merangsang produksi serotonin dan melatonin di otak, yang mengubah pengalaman menyakitkan menjadi rasa menyenangkan. Pelepasan tiba-tiba epinefrin juga dapat menyebabkan munculnya rasa menyenangkan yang mendampingi sensasi nyeri.
Namun, konsep pribadi tentang seks, pengalaman tentang variasi seksual, pengalaman seksual sebelumnya, dan komunikasi seksual dengan pasangan akan menentukan apakah seks bondage hanya menjadi variasi seksual semata atau menjadi aktivitas seksual utama. Jika hanya menjadi variasi, seks bondage hanya akan dilakukan saat hubungan seksual mulai terasa membosankan. Tetapi jika seseorang dan pasangannya menyukainya secara konsisten dan menjadikannya sebagai aktivitas seksual utama, maka ini dapat dianggap sebagai parafilia.
Seberapa wajar seks bondage dalam hubungan seksual?
Sebagian besar pelaku seks bondage adalah pelaku temporer atau hanya melakukannya sesekali. Hanya sebagian kecil yang melakukannya secara terus-menerus dan menjadi sadomasokis. BDSM masuk ke dalam terminologi parafilia, karena tidak melibatkan penetrasi kelamin dalam mencapai kepuasan seksual. Namun, jika seks bondage hanya sebagai variasi seksual dan pasangan tetap menikmati hubungan seksual dengan penetrasi kelamin, maka itu hanya merupakan variasi seksual dan bukan parafilia.
Mendengar penjelasan dr. Oka, saya semakin menyadari bahwa perilaku seksual sangatlah kompleks dan bervariasi. Apapun pilihannya, semuanya kembali kepada individu masing-masing. Seperti yang dikatakan dr. Oka, konsep pribadi tentang seks, pengalaman tentang variasi seksual, pengalaman seksual sebelumnya, dan komunikasi seksual dengan pasangan akan menentukan segalanya.
Subscribe, follow lembarkerjauntukanak.com