9 Hal dari 9 Tahun Perkawinan (1)


Tidaklah terasa bahwa sudah 9 tahun berlalu sejak pernikahan saya dengan suami. Wow! 9 tahun? Apakah benar sudah begitu lama? Ternyata memang begitu, sudah cukup lama. Terlebih jika ditambah dengan masa pacaran kami yang berlangsung selama 4,5 tahun, berarti kami telah bersama selama 13,5 tahun. Sungguh luar biasa. Artinya, setengah dari hidup saya telah saya habiskan bersamanya. (*percaya dong jika umur saya masih 27 tahun?*)

Selama 9 tahun ini, tentu saja ada banyak hal yang telah saya pelajari tentang pernikahan. Alhamdulillah, dalam kasus kami, saya sangat bersyukur bahwa pernikahan kami tidak pernah terjadi hal-hal yang membuat sedih. Semuanya selalu berjalan dengan baik, harmonis, indah, dan penuh kebahagiaan. Saya berharap semoga keadaan ini bisa terus berlanjut selamanya. Saya, bukanlah seorang ahli pernikahan, namun tidak ada salahnya jika saya berbagi tentang hal-hal yang telah membawa kami hingga ke pernikahan kami yang ke-10 ini.

1. Kami tidak terfokus pada pernikahan itu sendiri
Bagaimana mungkin kami bisa fokus pada pernikahan, padahal kami baru saja kembali ke Jakarta 2 minggu sebelum hari pernikahan. Meskipun kami tidak berada di Jakarta, sebenarnya masih mungkin bagi kami untuk tetap terlibat dalam semua persiapan pernikahan melalui email atau telepon. Namun, sejak awal kami berdua memang tidak terlalu memikirkan pernikahan itu sebagai sesuatu yang harus kami persiapkan dengan waktu, energi, dan usaha yang berlebihan. Kami berdua tidak terlalu memikirkan tentang pernikahan impian kami. Sehingga bisa dikatakan, kontribusi kami dalam pernikahan ini sangat minim, bahkan hampir tidak ada. Mulai dari pemilihan gedung, menu makanan, dekorasi, MC, souvenir, hingga kebaya yang saya kenakan tidak melalui proses persetujuan dari kami berdua. Kami bahkan tidak memiliki kue pernikahan. Bahkan, baju yang saya pakai untuk foto prewedding adalah pinjaman dari sahabat, dengan makeup dan rambut yang saya kerjakan sendiri. Tempat foto prewedding pun cukup di belakang rumah saja.

Mungkin memang tidak ada salahnya untuk merencanakan pernikahan impian kita sejak kecil. Namun, yang perlu diwaspadai adalah ketika kita terlalu terjebak dalam euforia pernikahan, terlalu sibuk memikirkan dan mewujudkan pernikahan impian kita bahkan sejak setahun sebelumnya, sehingga kita tidak memiliki waktu untuk mempersiapkan diri secara mental terhadap tanggung jawab yang akan kita hadapi setelah menikah. Banyak juga yang terjebak dalam menciptakan pernikahan yang mewah di luar kemampuan kita, sehingga setelah menikah, mereka harus sibuk membayar hutang untuk pernikahan tersebut dan akhirnya berujung pada konflik rumah tangga. Sungguh sayang, bukan?

Baca Juga:  5 Bagian Tubuh si Kecil yang Sebaiknya Ibu Perhatikan Saat Mandi

2. Kami bukan keluarga yang berpusat pada anak-anak
Kehadiran anak tentu membawa perubahan dalam sebuah keluarga. Prioritas berubah, gaya hidup berubah, dan masih banyak perubahan lainnya. Namun, kami berusaha untuk tidak melihat kehadiran anak sebagai beban atau penghalang untuk tetap menikmati hidup di luar menjadi orangtua atau menjalankan hobi-hobi yang kami sukai sebelum memiliki anak. Misalnya, kami masih tetap bisa pergi menonton pertandingan basket meskipun kami memiliki anak. Bahkan ketika Jibran masih berusia dua bulan, kami membawanya dalam perjalanan road trip selama minimal 5 jam. Karena kami tidak memiliki asisten rumah tangga, kami tidak bisa meninggalkan anak kami agar kami bisa keluar rumah. Jadi, jika kami ingin pergi makan di luar, pergi ke mal, atau berkunjung ke rumah teman, kami membawa Jibran bersama kami. Kami tidak pulang ketika jam tidur anak tiba. Kami biarkan dia tidur lebih malam atau tidur di tempat yang kami kunjungi. Tujuannya adalah agar Jibran menjadi anak yang fleksibel dan tidak mudah cranky ketika rutinitas harian berubah. Jika kami terlalu kaku dengan jadwal, banyak momen indah yang akan terlewatkan, seperti saat kami menonton final Piala Dunia 2010 di pinggir pantai di Dubai dan membiarkan anak-anak ikut menonton sambil bermain pasir hingga pukul 3 pagi. Alhamdulillah, anak-anak juga tidak mudah sakit karena kami berdua cenderung santai.

3. Kami tidak membatasi akses satu sama lain
Mungkin ada yang tidak setuju dengan poin ini dengan alasan bahwa kita harus menghargai privasi masing-masing. Setelah menikah, menurut saya, privasi berarti memberikan ruang bagi pasangan untuk menjalani hobi mereka, menikmati waktu sendiri, atau bersenang-senang dengan teman-teman mereka. Bukan menutup akses pasangan kita untuk melihat kehidupan digital kita karena saya tidak ingin ada yang disembunyikan. Oleh karena itu, kami berdua memiliki akses ke email, media sosial, dan bahkan rekening bank masing-masing. Jika salah satu dari kami ingin mengambil Blackberry pasangan dan membaca pesan BBM-nya sambil tiduran, itu hal yang sah. Mungkin ada yang berpendapat, “Jika masih melakukan pemeriksaan, berarti tidak ada kepercayaan, padahal kepercayaan adalah salah satu dasar penting dalam pernikahan.” Menurut saya, kepercayaan memang penting, tetapi jika tidak ada yang disembunyikan, seharusnya kita merasa nyaman jika pasangan kita mengetahui semua password kita.

Baca Juga:  Perawatan Anak Saat Gigi Tanggal

Menurut saya, dengan saling membuka akses ini, kita bisa menjadi benteng satu sama lain. Media sosial membuat perselingkuhan semakin tidak jelas batasannya. Kata-kata mesra menjadi lebih mudah ditulis, dan menggoda terasa lebih mudah dilakukan sehingga terlihat sebagai sesuatu yang tidak berbahaya. Padahal, jika pasangan mengetahuinya, itu pasti akan menyakitkan. Oleh karena itu, kita bisa saling mengingatkan seperti, “Eh, kenapa kamu mendapat pesan langsung dari si A dengan isi seperti itu? Hati-hati, jangan direspon.” Atau jika kita melihat ada pesan BBM dari klien atau vendor perempuan yang terus-menerus mengajak bertemu di luar jam kerja, kita bisa memberitahu pasangan kita bahwa ajakan tersebut kurang pantas. Banyak kasus perselingkuhan, korupsi, dan lain sebagainya yang sebenarnya bisa terdeteksi sejak awal jika kita bisa saling memeriksa email, SMS, BBM, atau rekening bank. Mungkin terdengar terlalu percaya, tetapi intinya jangan pernah berpikir bahwa kita atau suami kita kebal terhadap semua itu. Kita juga tidak sebaik seperti yang kita pikirkan, jadi hal-hal tersebut bisa saja terjadi pada kita.

4. Kami berusaha tidak menganggap yang lain sebagai sesuatu yang biasa
Tentu menyenangkan memiliki pasangan yang menerima kita apa adanya dan merasa nyaman dengan kita. Namun, bukan berarti kita bisa menyalahgunakan hal tersebut, kan? Kita tetap harus menunjukkan cinta kita melalui kata-kata, sikap, tindakan, dan dukungan. Tetap harus saling memberikan pujian dan mengungkapkan rasa terima kasih. “Terima kasih sudah membersihkan anak-anak,” adalah kalimat yang sederhana tetapi seringkali sulit diucapkan karena kita berpikir, “Ya, dia adalah seorang ayah, tentu saja dia harus melakukan itu.” Padahal, hal-hal kecil seperti itu bisa memiliki dampak besar.

Baca Juga:  12 Cara Tumbuhkan Minat Seni Anak

Menganggap cinta sebagai sesuatu yang biasa juga termasuk dalam hal ini. Kadang-kadang kita kembali ke rumah setelah menghadiri acara atau rapat dengan penampilan yang cantik. Namun begitu sampai di rumah, kita buru-buru mengganti pakaian menjadi daster lusuh yang nyaman dan menghapus makeup. Kita lupa bahwa orang di rumah juga ingin melihat kita tampil menarik, dan itulah yang seharusnya kita curi perhatiannya. Jika kita tidak merasa menarik dengan ‘setelan’ yang kita kenakan di rumah, jangan berharap suami kita akan melihat kita sebagai wanita menarik. Hal ini juga berlaku untuk suami. Saya senang karena suami saya selalu tidur dengan harum dan mengenakan kemeja yang bagus, bahkan kadang-kadang mengenakan polo shirt yang nyaman.

Orang berubah. Kami berdua mengalami banyak perubahan, baik yang kecil maupun yang besar. Misalnya, pindah kerja, pindah rumah, kehilangan anggota keluarga, perubahan gaji, peningkatan beban kerja, hobi baru, dan banyak lagi. Semuanya pasti akan mengubah seseorang. Saya yang dulunya hanyalah seorang ibu rumah tangga dan sekarang menjalankan bisnis, tentu juga mengalami perubahan. Oleh karena itu, kami berdua harus belajar dan saling memperhatikan satu sama lain, agar perubahan tersebut tidak membawa dampak negatif pada hubungan kami. Ada saat-saat dimana kami terjebak dalam menganggap satu sama lain sebagai sesuatu yang biasa, namun alhamdulillah, kami semakin membaik sekarang.

Wah, ternyata tulisan ini cukup panjang. Kali ini akan saya bagi menjadi dua postingan. Saya akan melanjutkannya di artikel berikutnya. Tetap di sini ya!


Subscribe, follow lembarkerjauntukanak.com