Stop Galau Meninggalkan Anak Bekerja


Resign Setelah Punya Anak: Galau Sehari-hari yang Membuat Ibu-Ibu Mengambil Keputusan Berat

Pendahuluan

Setelah melahirkan, banyak ibu yang sering merasakan galau sebagai kata sehari-hari. Apapun yang terjadi pada anak, entah itu demam, munculnya ruam merah, atau bahkan menolak makan, ibu akan merasa galau. Ditambah lagi dengan kekhawatiran meninggalkan pekerjaan demi anak, tidak jarang banyak ibu yang memutuskan untuk resign setelah memiliki anak. Alasan utama yang melatarbelakangi keputusan ini adalah perasaan galau yang terus menghantui. Ibu tidak tega melihat anak menangis ketika ditinggal kerja, khawatir akan melewatkan momen berharga bersama anak, takut ASI (Air Susu Ibu) tidak mencukupi, dan masih banyak alasan lainnya.

Resign setelah memiliki anak, ibu-ibu terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah ibu yang merasa bahagia dan tidak menyesali keputusan untuk resign. Kelompok ini terdiri dari ibu-ibu yang sebenarnya lebih menyukai mengurus rumah tangga. Mereka memiliki bakat alami sebagai ibu rumah tangga dan merasa lebih bahagia saat bisa fokus mengurus keluarga.

Sementara itu, kelompok kedua adalah ibu yang mengalami stres setelah resign. Mereka merasa hidup mereka tidak memiliki arti setelah berhenti bekerja demi anak. Perasaan menyesal dan jenuh mengisi hari-hari mereka di rumah sepanjang waktu. Kelompok ini sebenarnya tidak cocok menjadi ibu rumah tangga dan lebih baik kembali bekerja agar bisa mendapatkan keseimbangan dalam hidup.

Setiap ibu memiliki perbedaan dalam menghadapi situasi ini. Akar masalahnya sebenarnya terletak pada perasaan galau sebelum mengambil keputusan resign “demi anak”. Sebelum memutuskan untuk resign, sebaiknya ibu memikirkan alasan di balik perasaan galau tersebut.

Mengapa Support System Yang Tidak Mumpuni?

Kebanyakan perasaan galau ini berasal dari kekhawatiran tentang anak saat ibu meninggalkan mereka untuk bekerja. Namun, ini menjadi cerita yang berbeda jika anak benar-benar sakit. Dalam kasus ini, anak memang dalam kondisi yang tidak sehat dan membutuhkan perawatan lebih. Namun, jika anak sehat dan hanya rewel setiap kali ibunya pergi bekerja, ibu akan terus terpikirkan dan akhirnya ingin resign. Atau mungkin ibu terlalu sibuk dengan pekerjaan dan memiliki jam kerja yang tidak pasti, sehingga anak lebih memilih pengasuh daripada ibunya sendiri. Ini adalah risiko yang harus dihadapi.

Baca Juga:  4 Aktivitas Sederhana untuk Bantu si Kecil Belajar Berbagi

Namun, apa sebenarnya tujuan kita bekerja? Apakah kita bekerja hanya demi anak? Saya pribadi tidak berpendapat demikian. Memang benar bahwa kita bekerja untuk memberikan kehidupan yang lebih baik bagi anak, namun saya bekerja karena saya menyukainya. Saya juga butuh waktu di mana saya tidak hanya menjadi istri atau ibu, tetapi juga dihargai sebagai individu.

Saya merasa ingin resign hanya dalam satu hari. Saat itu adalah hari pertama Xylo masuk daycare. Saya mengantarkan Xylo ke daycare sementara saya baru mulai bekerja keesokan harinya. Mengapa tidak pada hari yang sama? Karena saya tahu bahwa saya akan merasa sangat sedih, jadi lebih baik dia masuk terlebih dahulu sementara saya merapikan perasaan.

Selama sehari penuh, saya menangis memikirkan Xylo di daycare. Saya berulang kali mengatakan kepada suami bahwa saya ingin resign. Namun, keesokan harinya, saat hari pertama saya kembali bekerja, saya lupa bahwa saya sedih kemarin hahaha. Ternyata saya merasa sedih karena saya juga lupa suasana di kantor. Saya lupa betapa seru makan siang bersama rekan kerja, saya lupa bahwa saya suka sibuk dengan pekerjaan yang menumpuk. Sejak saat itu, kata “resign demi anak” tidak pernah lagi terlontar dari mulut saya.

Namun, saya bisa tenang karena saya membentuk sistem pendukung yang membuat saya nyaman saat bekerja. Oleh karena itu, saya memilih daycare setelah melakukan survei di berbagai tempat, memilih layanan katering, membeli mesin cuci yang mudah digunakan, dan melakukan hal-hal lainnya. Intinya, saya menciptakan solusi sendiri untuk hal-hal yang memudahkan saya sebagai seorang ibu yang bekerja.

Selain urusan pengasuh anak, manajemen waktu juga harus dipikirkan dengan baik. Setelah seharian bekerja, prioritas utama ketika pulang ke rumah adalah anak. Jangan terburu-buru membersihkan rumah terlebih dahulu. Jika tidak, anak akan mencari perhatian dengan merusak barang atau tumpahnya air kita, dan kita akan marah, padahal anak hanya merindukan kehadiran ibunya.

Baca Juga:  10 Fakta Tentang Jo In Sung, Aktor Utama Drakor Moving, Yang Mungkin Kamu Belum Tahu

Terakhir, jika masih merasa galau meninggalkan anak ketika bekerja, periksa kembali pekerjaan kita di kantor. Apakah gaji yang kita terima sebanding dengan semua kesulitan yang kita hadapi sebagai seorang ibu yang bekerja? Apakah kita bisa menabung lebih banyak? Apakah kita merasa nyaman dengan lembur dan bekerja di akhir pekan?

Jika jawabannya adalah “tidak” untuk semua pertanyaan tersebut, sebaiknya kita mempertimbangkan untuk mencari pekerjaan baru. Jangan mengeluh tentang pekerjaan yang ada jika kita tidak mencoba mencari pekerjaan yang baru. Selalu ada jalan bagi mereka yang mau berusaha.

Jadi, jika sistem pendukung kita baik, waktu kita dikelola dengan baik, dan pekerjaan di kantor masih baik, mengapa kita harus resign? Sebagai seorang ibu yang bekerja, kita harus mengambil keputusan dengan bijaksana dan mempertimbangkan semua aspek yang terlibat.


Subscribe, follow lembarkerjauntukanak.com