Tantangan Mendampingi Anak Remaja Seperti Omara
Omara Naidra Esteghlal, seorang remaja berusia 18,5 tahun, memiliki keinginan yang teguh untuk mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan pendidikannya di St. Olaf College, Northfield, Minnesotta. Keinginannya ini tidak lain adalah untuk mengurangi beban keuangan orang tuanya yang ia sebut dengan abi dan bunda. Ia ingin merasakan bagaimana rasanya sekolah tapi bayar sendiri.
Perjalanan Omara dalam mencapai cita-citanya tidaklah mudah. Ia telah berhasil mendapatkan beasiswa Selby Davis untuk melanjutkan pendidikan SMA di United World College (UWC) – USA di Montezuma, New Mexico. Namun, kini ia harus menghadapi tantangan baru dalam perjalanan pendidikannya.
Dalam sebuah percakapan dengan ibunya, Diana Dewi, saya mendapatkan banyak wawasan seputar dunia anak remaja dan fase yang sedang dijalani Omara. Awalnya, ibu Omara berpikir bahwa fase remaja hanya terjadi pada anak usia belasan dan akan berakhir ketika anak memasuki usia 20 tahun. Namun, menurut Najelaa Shihab, seorang psikolog dan pendiri Sekolah Cikal & 24hrparenting.com, fase remaja sebenarnya dimulai sekitar usia 15 tahun dan akan terus berlanjut hingga usia 25 tahun. Bahkan, pada usia 18 tahun seorang remaja dianggap mulai agak dewasa, namun tingkah lakunya tetap akan bergejolak hingga usia 25 tahun. Jadi, fase remaja tidak pernah berakhir.
Di tengah fase remaja yang sedang dijalani Omara, ia menyampaikan keinginannya untuk melanjutkan pendidikan di luar negeri, mengikuti jejak tantenya yang juga lulusan UWC – USA. Namun, ibu Omara sudah mendaftarkan dirinya di sekolah lain. Masalah pun muncul, jika Omara tidak diterima di UWC – USA, ia harus menerima kenyataan bahwa ia harus sekolah di Indonesia.
Namun, ibu Omara memiliki keyakinan bahwa hidup memang penuh dengan pilihan dan konsekuensi. Ia dan suaminya bahkan sampai melakukan ijab qobul dengan Omara, sebagai tanda bahwa mereka yakin Omara mampu bertanggung jawab atas pilihannya. Menurut ibu Omara, jika kita memberikan sesuatu yang harus ditanggung jawab oleh anak, mereka akan mampu melakukannya. Kehidupan yang terlalu nyaman dan tanpa batasan tidak akan membuat seseorang bisa bertahan dalam menghadapi tantangan. Keberhasilan seseorang bergantung pada motivasi dan semangat yang dimilikinya.
Kepergian Omara ke USA, Menyisakan Rasa Khawatir
Proses kelulusan Omara untuk mendapatkan beasiswa UWC – USA tidaklah mudah. Proses seleksinya berlangsung selama 3 bulan, dimulai dari saat ia masih bersekolah di SMA. Komite nasional, yang anggotanya juga merupakan lulusan UWC – USA, berhak menentukan kelulusan. Omara bahkan harus dikarantina di sebuah hotel selama satu bulan untuk menjalani proses seleksi tersebut.
Sekolah UWC memiliki sekitar 200 siswa dari berbagai negara. Omara memilih untuk mengambil program Diploma di sekolah tersebut, di mana terdapat siswa dari 100 bangsa. Sistem seleksinya berbasis kuota, sehingga hanya beberapa orang dari Indonesia yang berkesempatan berangkat ke UWC – USA setiap tahunnya. Oleh karena itu, Omara merasa sangat beruntung karena berhasil mendapatkan beasiswa tersebut, yang tentu saja tidak lepas dari usaha kerasnya.
Keputusan Omara untuk pergi ke Amerika Serikat, negara yang ia pilih untuk melanjutkan pendidikannya, membuat ibunya, Diana, merasa khawatir. Hal ini dikarenakan Omara pernah mengalami serangan epilepsi ketika berusia 13 tahun. Saat itu, Diana sangat khawatir bahwa Omara tidak akan selamat. Ketika Omara mengalami serangan epilepsi, Diana tidak tahu apakah Omara meminta tolong atau sedang berdoa agar serangan tersebut berakhir dengan mudah. Kejadian ini terjadi saat bulan puasa, ketika Omara akan berbuka puasa bersama teman-temannya di PIM.
Percakapan ini membuat Diana merasa sangat dilema. Ia tidak ingin menghalangi cita-cita Omara, namun di sisi lain, ia khawatir apakah Omara akan mampu bertahan di lingkungan yang jauh dari pengawasan orang tuanya. Namun, seperti niat baik lainnya, yang didengar Tuhan dan dilancarkan jalannya, hal yang sama juga terjadi pada Diana. Ia terlibat dalam pembicaraan dengan ibu dari anak yang mendapatkan program beasiswa yang sama dengan Omara, dan mereka bahkan berangkat bersama. Ibu tersebut mengatakan kepada Diana bahwa anak-anak adalah titipan Allah, dan kita harus menyerahkan mereka kepada Yang Maha Memiliki. Cita-cita mereka adalah cita-cita mereka sendiri, dan kita hanya bisa mendoakannya. Kata-kata tersebut menenangkan Diana yang sedang resah, meskipun pada awalnya ia merasa seperti ditampar, namun ia juga merasa lega.
Di sisi lain, Diana merasa tenang karena mengetahui bahwa sejak SMA, Omara sudah tahu minatnya kemana. Diana dan suaminya selalu konsisten mengatakan kepada anak-anaknya, “Kerjakan apa yang membuat kamu bahagia!” dan untuk dapat bahagia, mereka harus senang terlebih dahulu. Bahagia tidak akan mungkin didapatkan jika mereka tidak senang terlebih dahulu. Selain itu, mereka juga mengajarkan anak-anaknya untuk bertanggung jawab atas apa yang mereka lakukan. Tanggung jawab harus konsisten, meskipun hal ini tidaklah mudah.
Diana, Sosok Ibu yang Dekat dengan Anak Laki-laki
Dalam perjalanan mendampingi anak remaja, Diana mengingat nasihat dari Najelaa Shihab bahwa seorang anak laki-laki harus dekat dengan ayahnya, sedangkan seorang anak perempuan harus dekat dengan ibunya. Hal ini dikarenakan hanya mereka yang memiliki jenis kelamin yang sama yang dapat memahami gejolak yang sedang dialami oleh anak-anak tersebut. Meskipun orang tua mereka sudah berpisah, Diana tetap menyarankan kepada ayah Omara untuk tetap dekat dengan anak-anaknya, sebisa mungkin.
Selain itu, Diana juga berusaha menjadi partner bagi anak-anaknya. Ketika mereka sedang bercerita tentang naksir-naksiran, Diana berusaha untuk bertindak seperti lawan jenis mereka, bukan menjadi mereka. Namun, dalam waktu yang sama, ia tetap menyelipkan pesan moral kepada mereka.
Omara juga rela menceritakan fase-fase dalam hidupnya di mana ia tertarik dengan lawan jenis. Diana selalu mendengarkan curahan hati anak lelakinya ini. Ia selalu mengatakan kepada Omara bahwa sejelek apapun yang dialaminya, Diana ingin tahu langsung dari mulut Omara, bukan dari orang lain. Jika Diana mengetahuinya dari orang lain, ia tidak akan bisa membela Omara. Meskipun Omara melakukan kesalahan, Diana akan lebih memakluminya jika ia mendengarnya langsung dari Omara.
Melalui percakapan dengan Diana, saya belajar banyak tentang bagaimana mendampingi anak remaja. Diana memberikan arahan kepada anak lelakinya untuk menjadi pribadi yang berkarakter dan tahu persis apa yang menjadi cita-citanya. Ia ingin anaknya bahagia dan bertanggung jawab atas apa yang ia lakukan. Semoga kita semua dapat mengambil pelajaran berharga dari pengalaman dan nasihat Diana dalam mendidik anak remaja.
Subscribe, follow lembarkerjauntukanak.com