Alasan Samanta Elsener menjadi psikolog anak dan keluarga sangat mulia. Itu karena dia percaya bahwa membantu anak-anak bisa menyelamatkan masa depan mereka.
Kalau mencari sosok psikolog anak dan keluarga, kini nama Samanta Elsener sering jadi pilihan teratas. Selain aktif berbagi pengetahuannya lewat webinar dan IG Live, wanita kelahiran Yogyakarta, 28 Juni 1989 itu juga rutin berbagi konten tentang tumbuh kembang anak serta pembahasan tentang masalah keluarga lewat media sosial pribadinya.
Sebagai psikolog, Samanta bekerja membantu banyak orang, terutama anak-anak untuk tumbuh dengan baik. Ternyata ada alasan di balik pilihan profesinya tersebut. Yuk, intip kisah Samanta Elsener di bawah ini!
Apa Menjadi Psikolog adalah Impian Kamu?
Iya. Menjadi psikolog adalah salah satu cita-cita aku semasa kecil, selain jadi dokter, pramugari, model, sampai pengacara. Namanya anak kecil pasti punya banyak cita-cita dan sering berubah. Sampai di sekitar usia 6 tahun, salah satu sepupu aku yang kuliah jurusan psikologi datang ke Yogyakarta dan dia menceritakan hal-hal yang dia pelajari di kampus. Aku berpikir, ‘oh, ternyata ada ilmu yang bisa mempelajari tentang manusia.’
Setelah pindah ke Jakarta, aku semakin dekat dengan sepupuku. Tanpa sadar, apa yang dia ceritakan tentang kuliahnya itu malah menginspirasi dan membuat aku tertarik. Dari situ aku semakin rajin membaca buku tentang self health, self development, dan rubrik-rubrik di majalah yang berkaitan dengan psikologi remaja.
Kenapa Memilih jadi Psikolog Anak dan Remaja?
Waktu itu aku berpikir kalau psikologi anak masih terbilang terbilang baru, dibandingkan psikologi umum dan dewasa. Dalam perkembangan kita sebagai manusia pasti di mulai dari anak-anak, kan. Jadi kalau aku bisa menguasai psikologi anak ini, maka aku akan bisa punya kesempatan untuk membantu anak-anak dengan memberikan intervensi sejak usia dini.
Sejak kecil aku juga suka berinteraksi dengan anak-anak, dan dasarnya memang suka anak-anak, jadi aku merasa jika bisa membantu masalah di usia anak-anak sepertinya bisa lebih menyelamatkan masa depan mereka.
Bagaimana Dukungan Keluarga untuk Kamu Sebagai Working Mom?
Sejak kecil papa aku itu sangat memotivasi aku, terlebih karena dia tahu aku mau jadi psikolog. Beliau sangat memberikan semangat dan restu yang terbesar. Apalagi awalnya aku mau kuliah di Jerman karena tahu psikologi asalnya dari sana. Namun karena ada satu dan dua hambatan itu, sempat kakak aku bertanya kenapa aku ingin sekali belajar psikologi dan merekomendasikan untuk kuliah jurusan lain. Namun papa terus mendorong aku untuk ambil psikologi, tidak boleh yang lain. Jadi aku merasa itu biggest blessing yang dia berikan ke aku.
Papa juga selalu bilang kalau aku harus memikirkan diri sendiri, jadi sukses, tidak boleh putus di tengah jalan untuk mencapai impian, harus bisa kerja, dan harus bisa independen.
Karena papa memotivasi aku seperti itu, jadi hal tersebut juga membuat aku mencari partner, ya, harus yang mengizinkan aku untuk bekerja. Kalau tidak mengizinkan aku jadi working moms buat apa? Alhamdulillah aku dapat partner yang mengizinkan, dan termasuk orang yang juga memotiviasi sampai bisa menyelesaikan S2 hingga bekerja. Dia juga jadi rekan diskusi aku.
Menjadi Seorang Psikolog Anak, Apa Ilmu yang Kamu Terapkan Dalam Pengasuhan Anak?
Hal yang aku terapkan sehari-hari adalah keterampilan untuk berkomunikasi dengan anak dan pasangan, ya. Selain itu selalu melatih cara komunikasi dan beradaptasi, terutama dengan kebutuhan anak. Sebab kebutuhan anak akan berbeda sekali dalam tiap jenjang usia. Semakin kognitifnya berkembang, anak akan semakin mencari tahu tentang sesuatu. Saat dia semakin dia mencari tahu tentang suatu hal, itu membuat kita kebingungan menjelaskannya.
Aku pendekatan ke anak lebih mindfulness dan positive psychology. Jadi lebih melihat dari sisi positifnya, lebih memmbangun kesadaran. Kalau sekarang biasa disebut conscious parenting.
Menjadi Psikolog Anak Pasti Membuat Kamu Tidak Pernah Salah Dalam Pengasuhan, Benar, Tidak?
Tidak, dong. Psikolog anak juga pernah melakukan kesalahan dalam pengasuhan anak, termasuk aku. Namun itu adalah bentuk dari evaluasi yang aku rasa perlu aku terima juga. Contohnya ketika anak aku usia 3 atau 4 tahun. Dia sedang dalam masa selalu bertanya ‘kenapa’ akan segala hal. Suatu waktu dia bertanya dan aku mencoba menjelaskan. Rencananya mau menjabarkan dengan jelas tapi ternyata malah jadi terlalu panjang dan berbelit-belit.
Bapaknya lalu merasa itu terlalu rumit dan menjelaskan dengan bahasa yang simpel. Eh, ternyata setelah itu anakku malah lebih menangkap jawabannya dan tidak bertanya lagi. Hal itu akhirnya jadi evaluasi juga buat aku dalam pengasuhan. Dan dalam psikologi itu harus terbuka terhadap segala hal, dan dengan terbuka membuat aku juga jadi memperbaiki diri. Jadi lebih tahu dari sudut pandang dan cara lain.
Apa Bagian Terberat dalam Pengasuhan Anak?
Bagian terberat mungkin sebagai perempuan aku tidak punya support system. Mama aku sudah meninggal sejak aku usia 3 tahun. Kalau teman-teman aku mamanya masih ada, masih bisa dimintai bantuan untuk dititipkan anak, sedangkan aku tidak ada. Sejak menikah aku tinggal sendiri bersama pasangan dan hanya dibantu dengan satu asisten rumah tangga, itu juga ketika aku melanjutkan kuliah S2.
Setelah full ASI dua tahun dan melihat milestone anakku sudah bisa cerita dengan runut, aku kembali melanjutkan kuliah S2. Aku sudah berencana menyelesaikan kuliah dua tahun, sebelum anakku masuk TK, dan berhasil. Rencana itu aku buat karena aku berkomitmen untuk mengantar jemput dia sendiri ke sekolah, tanpa menggunakan supir, karena aku ibu yang parnoan.
Ada banyak kasus kejahatan pada anak yang membuat aku sangat melindungi anakku supaya jangan sampai di masa golden age ini dia mengalami trauma dan pelecehan. Aku dan pasangan sama-sama berusaha memberikan perlindungan yang terbaik untuk anak.
Apa Pernah Merasa Burnout? Dan Apa yang Dilakukan untuk Mengatasinya?
Beruntungnya menjadi psikolog itu adalah aku bisa mendeteksi lebih dulu gejala-gejala awal burnout dibanding orang awam. Biasanya ketika aku sudah mulai malas-malasan, menunda pekerjaan, badan lebih capek padahal tidak ada perubahan rutinitas, di saat itu aku tahu kalau aku mau burnout.
Untuk mengatasinya aku identifikasi dulu sumber burnout. Kalau ada pada pekerjaan, maka jumlahnya aku kurangi. Namun kalau masalahnya ada pada klien, misalnya yang datang bertibu-tubi dengan masalah yang sama dalam terus menerus, biasanya aku akan referensikan ke teman sejawat.
Setelah itu aku juga meluangkan waktu untuk me time. Buat aku setiap hari harus ada me time, tetapi me time aku sangat sederhana. Sholat buat aku adalah me time, begitu juga dengan meditasi, nonton Netflix, baca buku, mendengarkan lagu kesukaan, sampai sesimpel mandi. Sampai anakku usia tujuh tahun, dia masih suka mencari aku dan ketuk-ketuk pintu kamar mandi. Sekarang aku bisa sambil luluran, dan itu me time buat aku.
Apa Tips Mengatasi Burn Out untuk Ibu Bekerja Lainnya?
Kenali tandanya. Apa saja? Ketika sudah terjadi hal-hal yang di luar kebiasaan. Ada perubahan pola makan, pola tidur, sampai kondisi tubuh berubah. Cari tahu masalahnya dan atasi supaya burnout tidak menjadi lebih parah. Melakukan me time bisa jadi satu pilihan.
Subscribe, follow lembarkerjauntukanak.com